Gerhana bulan total terjadi saat posisi bumi berada antara bulan dan matahari. Bulan berada di bawah bayang bumi lantaran cahaya matahari terhalang bumi.
Ketika terjadi gerhana umat Muslim dianjurkan untuk melaksanakan shalat gerhana.
Hal ini dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW.
Pengertian Gerhana
Dalam kajian fikih, istilah gerhana matahari disebut dengan kusuf, sedangkan gerhana bulan disebut dengan khusuf. Walaupun sebagian ulama berpendapat kata kusuf adalah sinonim dari kata khusuf.
Kusuf terjadi ketika hilangnya cahaya dari matahari dan bulan secara keseluruhan, atau sebagiannya saja. Sehingga warnanya berubah manjadi hitam.
Sedangkan pengertian shalat kusuf ialah shalat yang dilakukan dengan tata cara khusus, ketika munculnya peristiwa gerhana matahari atau bulan, baik secara total maupun sebagiannya saja.
Hukum Shalat Gerhana
Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum shalat gerhana matahari atau bulan adalah sunnah muakkadah, yaitu sunnah yang ditekankan bagi setiap kaum Muslimin. Sebagian ulama menyatakan bahwa pendapat tersebut sudah menjadi ijma’ di antara mereka.
Sehingga Imam Syafi’i berkata, “Tidak boleh meninggalkan shalat gerhana, baik yang bermukim maupun mereka yang sedang melakukan safar, atau siapa saja yang mampu melaksanakannya.”
Pendapat di atas berdasarkan dengan hadits dari Nabi SAW. Dari Abu Musa RA, ia berkata, ”Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi lantas berdiri takut karena khawatir akan terjadi hari kiamat, sehingga beliau pun mendatangi masjid kemudian beliau mengerjakan shalat dengan berdiri, ruku’ dan sujud yang lama. Aku belum pernah melihat beliau melakukan shalat sedemikian rupa.”
Nabi SAW lantas bersabda, ”Sesungguhnya ini adalah tanda-tanda kekuasaan Allah yang ditunjukkan-Nya. Gerhana tersebut tidaklah terjadi karena kematian atau hidupnya seseorang. Akan tetapi Allah menjadikan demikian untuk menakuti hamba-hamba-Nya. Jika kalian melihat sebagian dari gerhana tersebut, maka bersegeralah untuk berdzikir, berdoa dan memohon ampun kepada Allah.” (HR. Muslim)
Kapan Diperintahkan untuk Shalat Gerhana?
Shalat gerhana diperintahkan ketika melihat gerhana matahari atau gerhana bulan dengan pandangan mata secara langsung (rukyah). Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:
فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا، فَصَلُّوْا، وَادْعُوا اللهَ حَتَى يَكْشِفَ مَا بِكُمْ
“Maka apabila kalian melihatnya, maka lakukanlah solat dan berdoalah kepada Allah sampai hal yang menakutkan itu hilang.” (HR. Muslim)
Sehingga ketika keadaan cuaca mendung dan gerhananya tidak dapat terlihat dengan kasat mata, maka tidak diperintahkan untuk shalat.
Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan, “Suatu hal yang mungkin Allah menyembunyikan penglihatan gerhana pada satu daerah, lalu menampakkannya pada daerah lain. Ada hikmah di balik itu semua".
Lalu jika seseorang tidak mengetahui adanya gerhana kecuali setelah peristiwa itu berlalu, maka ia juga tidak perlu melaksanakan shalat. Karena perintah tersebut sangat terikat dengan waktu terlihatnya gerhana. Apabila gerhananya berlalu maka tidak ada lagi perintah shalat.
Kemudian shalat gerhana boleh dilakukan pada saat waktu-waktu yang dilarang mengerjakan shalat. Karena ia merupakan shalat yang memiliki sebab. Walaupun sebagian ulama memiliki pendapat yang berbeda tentang hal itu.
Cara Shalat Gerhana Bulan Sama dengan Shalat Gerhana Matahari
Cara shalat gerhana matahari dilakukan sama seperti shalat gerhana bulan. Dalilnya adalah sabda Nabi SAW:
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua gerhana tersebut tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat keduanya, berdo’alah pada Allah, lalu shalatlah hingga gerhana tersebut hilang (berakhir).” (HR. Bukhari Muslim)
Ibnu Mundzir berkata, ”Shalat gerhana bulan dilakukan sama sebagaimana shalat gerhana matahari.” (Ibnu Mundzir, Al-Iqna’, 1/124-125)
Para ulama sepakat bahwa shalat gerhana matahari di dalamnya tidak dikumandangkan azan dan iqamat. Sedangkan yang disunnahkan ketika itu adalah mengucapkan Ash-Shalatul Jami’ah.
Dalil mengenai hal ini ialah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr yang berkata, “Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah, dikumandangkan ash-shalatul jami’ah.” (HR. Bukhari Muslim)
Tata Cara Pelaksanaan Shalat Gerhana
Shalat gerhana dilakukan dua rakaat, setiap rakaat ada dua kali ruku’ dan dua kali sujud. Tata caranya disebutkan langsung secara rinci di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, yaitu:
Dari Aisyah, beliau menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya.
Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya, beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak. Setelah itu beliau berkhotbah di hadapan orang banyak, beliau memuji dan menyanjung Allah.
kemudian beliau bersabda, ”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”
Nabi selanjutnya bersabda, ”Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah karena ada seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan yang berzina. Wahai Umat Muhammad, demi Allah, jika kalian mengetahui yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (HR. Bukhari, no. 1044)
Mengeraskan Suara Ketika Membaca Surat
Bacaan surat di dalam shalat gerhana matahari ialah jahriyah (mengeraskan bacaan) sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi SAW. Ibunda Aisyah RA meriwayatkan,“Nabi SAW mengeraskan suara ketika membaca surat di dalam shalat gerhana bulan. Apabila beliau selesai bertakbir lalu melaksanakan ruku’. Dan ketika beliau bangun dari ruku’, beliau mengucapkan:
سَمِعَ اللهُ لِمَن حمِده رَبَّنَا وَلَكَ اْلحَمْدُ
"Semoga Allah meneria pujian orang yang memuj-Nya. Rabb kami, segala puji hanyalah bagimu.”
Kemudian beliau mengulangi membaca surat lagi. Di dalam gerhana matahari, empat ruku dan empat sujud ada di dalam dua rakaat.” (HR. Bukhari Muslim)
Imam At-Tirmidzi berkata, “Para ulama berselisih pendapat mengenai bacaan surat di dalam shalat gerhana matahari. Sebagian mereka berpendapat bahwa bacaan surat dibaca pelan ketika melaksanakan shalat gerhana di siang hari. Sebagian lain berpendapat tetap dikeraskan. Sebagaimana shalat ‘Id dan shalat Jum’at. Pendapat ini diungkapkan oleh Imam Malik, Ahmad dan Ishaq. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak perlu mengeraskan bacaan di dalam shalat gerhana matahari.” (Lihat: Sunan Tirmidzi 11/448 tahqiq Ahmad Syakir)
Dilakukan secara Berjamaah di Dalam Masjid
Shalat gerhana matahari disunnahkan untuk dilakukan di masjid. Hal ini sesuai dengan petunjuk Nabi SAW. Diantaranya adalah beliau mengumandangkan panggilan shalat gerhana dengan membaca “as-shalatul jami’ah”.
Demikian juga dengan kandungan makna dari hadits, yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW mengerjakan shalat gerhana secara berjamaah di masjid. Bahkan dalam riwayat Aisyah disebutkan bahwa, “Terjadi gerhana matahari pada saat Rasulullah masih hidup. Lantas beliau keluar menuju masjid. Kemudian beliau berdiri dan bertakbir, sedangkan para sahabat membuat barisan di belakang beliau….” (HR. Bukhari)
Ibnu Hajar berkata, “Pendapat tentang disyariatkannya shalat gerhana matahari secara berjamaah adalah pendapat jumhur. Apabila imam yang bertugas belum hadir, maka sebagian dari mereka bertindak sebagai imam.” (Lihat: Fathul Bari, 11/539)
Meski demikian, seseorang yang menyaksikan gerhana matahari, namun kondisinya tidak memungkinkan untuk datang menghadiri shalat jamaah di masjid, maka tidak mengapa shalat sendirian di tempat tinggalnya.
Syaikh Utsaimin menerangkan,”Mengerjakan shalat gerhana secara berjamaah bukanlah syarat. Jika seseorang berada di rumah, dia juga boleh melaksanakan shalat gerhana di rumah. Sesuai dengan sabda Nabi SAW,
فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا
“Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka shalatlah.” (HR. Bukhari no. 1043)
Dalam hadits tersebut, Nabi SAW tidak mengatakan, ”(Jika kalian melihatnya), shalatlah kalian di masjid.” Oleh karena itu, hal ini menunjukkan bahwa shalat gerhana diperintahkan untuk dikerjakan walaupun seseorang melakukan shalat tersebut sendirian. Namun, tidak diragukan lagi bahwa menunaikan shalat tersebut secara berjama’ah tentu saja lebih utama, apalagi dilakukan di masjid.”
Wanita Boleh Mengikuti Shalat Gerhana
Diriwayatkan dari Asma’ binti Abi Bakr RA, beliau berkata:
أَتَيْتُ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – زَوْجَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ ، فَإِذَا النَّاسُ قِيَامٌ يُصَلُّونَ ، وَإِذَا هِىَ قَائِمَةٌ تُصَلِّى فَقُلْتُ مَا لِلنَّاسِ فَأَشَارَتْ بِيَدِهَا إِلَى السَّمَاءِ ، وَقَالَتْ سُبْحَانَ اللَّهِ . فَقُلْتُ آيَةٌ فَأَشَارَتْ أَىْ نَعَمْ
“Saya mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha—isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam—ketika terjadi gerhana matahari. Saat itu manusia tengah menegakkan shalat. Ketika Aisyah turut berdiri untuk melakukan shalat, saya bertanya: ‘Kenapa orang-orang ini?’ Aisyah mengisyaratkan tangannya ke langit seraya berkata, ‘Subhanallah (Maha Suci Allah).’ Saya bertanya: ‘Tanda (gerhana)?’ Aisyah lalu memberikan isyarat untuk mengatakan iya.” (HR. Bukhari)
Syaikh Abu Malik Kamal menjelaskan bahwa sesuai dengan hadits di atas, maka seorang wanita boleh ikut melaksanakan shalat gerhana bersama kaum pria di masjid. Namun, jika ditakutkan akan membawa fitnah, maka sebaiknya mereka shalat sendiri di rumah.
Tertinggal Satu Ruku’ dalam Satu Rakaat, Haruskah Menyempurnakan?
Shalat gerhana adalah dua rakaat. Setiap rakaat terdapat dua ruku’ dan dua sujud. Jadi, secara global terdapat empat ruku dan empat sujud di dalam dua rakaat. Barangsiapa yang mendapati ruku’ kedua dalam rakaat pertama, berarti ia tertinggal satu bacaan dan satu ruku’. Berdasarkan hal ini, berarti ia belum mendapatkan satu rakaat dari dua ruku’ shalat gerhana.
Amalan yang benar, makmum yang tertinggal rakaat pertama shalat kusuf, maka rakaat tersebut tidak terhitung. Ia harus mengganti satu rakaat lagi dengan dua kali rukuk. Sebab, shalat kusuf adalah ibadah, dan ibadah itu bersifat tauqifi (harus merujuk dalil). Tata caranya harus mengacu pada nash-nash sahih.
Oleh karena itu, rakaat ini tidak dihitung. Dengan demikian, setelah imam mengucapkan salam maka hendaknya ia menyempurnakan satu rakaat lagi dengan dua ruku’ sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits shahih.
Ada Khutbah Setelah Shalat Gerhana
Disunnahan bagi imam untuk berkhutbah setelah melaksanakan shalat seperti khutbah shalat ‘Id. Sebagaimana hadits dari Aisyah RA, beliau menuturkan bahwa Nabi SAW setelah melaksanakan shalat beliau berdiri dan berkhutbah, setelah itu memuji kepada Allah SWT lalu bersabda:
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari no. 1044)
Doa yang dibaca saat gerhana, bisa doa apa saja, karena tidak ada doa khusus saat terjadi gerhana.
Doa terus dipanjatkan, terutama setelah selesai shalat tapi gerhana belum kunjung hilang.
Selain doa, juga dianjurkan untuk memperbanyak takbir.
Selesai berkhutbah, dianjurkan untuk membaca doa ini;
"Allahumma inna nasaluka innaka ghoffaarr fa arsilis samaai 'alainaa midroro.
Allahumma inna na'uudzubika mina; dzunuubil latii tamna'u ghoitsas samaai wana'uudzubika minadz dzunuubil latii tudzilul a'izza watudallilul a'daa.
Allahummaghfir lil muslimiina wal muslimaati wal mukminiina wal mukminaati al ahyaai minhum wal amwaati. Innaka samii'un khoriibum mujiibud da'awaati wal qaadliyal hajat."
Demikianlah beberapa ringkasan hukum fikih seputar shalat gerhana. Semoga tulisan ini menjadi bekal dalam rangka menyambut momen datangnya gerhana matahari dan bulan agar lebih bermakna.
(dari berbagai sumber)
Komentar
Posting Komentar